Rabu, 20 Maret 2013

REFLEKSI (Dari Lembah Menuju Puncak Gunung Matematika)


Dalam pertemuan pada tanggal 14 maret 2013 kemarin, yang disampaikan oleh Bapak Marsigit kita dapat memetik banyak pelajaran dari proses pembelajaran  yang ada di Australia dan Thailand. Pembelajaran kedua negara tersebut sudah mengacu pada pembelajaran yang inovatif. Dimana siswa yang memecahkan masalah (problem solving), mengenai konsep-konsep yang belum dipahami siswa. Dengan bercermin pembelajaran dari kedua Negara tersebut, diharap pendidikan Indonesia akan lebih maju dengan sistem yang lebih inovatif, kreatif, dan modern.
Pembelajaran matematika membutuhkan accountability (percaya) dan susstaibility (terus). Kedua aspek tersebut saling berkaitan walaupun dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, terasa atau tidak terasa, tidur atau tidak tidur. Matematika membutuhkan accountable (kepercayaan) seperti halnya dengan kepercayaan yang diberikan orang tua kita masing-masing kepada kita.
Matematika itu adalah Hermeneutics of life (hermatika kehidupan) yang didalam nya terdapat hermeneutic cycle, text, interpretation, practical, dan unconstrained. Semua komponen yang ada dalam Hermeneutics of life tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga bisa saling menerjemahkan dan diterjemahkan satu sama lain. Dalam metode Hermeneutics of life  (hermatika kehidupan) pembelajaran harus ada daya dan inisiatif. Pembelajaran matematika harus bisa menerjemahkan dan diterjemahkan. Misalnya guru menerjemahkan siswa, siswa menerjemahkan matematika, guru menerjemahkan matematika, matematika menerjemahkan siswa dan lain sebagainya.
Dalam sebuah proses pembelajaran diibaratkan bahwa proses pembelajaran itu seperti halnya dengan mendaki ke puncak gunung. Banyak rintangan dan hambatan-hambatan yang harus dilewati untuk sampai kepuncak gunung tersebut. Untuk sampai ke puncak gunung tersebut dibutuhkan peta dan kompas sebagai petunjuk arah agar perjalanan tidak tersesat sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada tujuan. Kompas yang dimaksud disini yaitu guru yang berperan sebagai fasilitator untuk siswa. Mendaki gunung itu diawali dari lembah kemudian baru menuju kepuncak. Diawali dari yang rendah baru menuju  ketinggi. Seperti halnya dengan matematika. Pertama siswa dikenalkan dengan matematika konkret atau nyata yaitu guru memperkenalkan matematika dengan menunjukan contoh benda-benda yang ada disekitar siswa dan biasanya siswa selalu berhubungan langsung dengan benda-benda tersebut. Contohnya ketika makan, gelas dan mangkuk yang digunakan siswa sebagai contoh bangun ruang. Matematika konkret atau nyata mudah diterima siswa. Hal ini disebabkan matematika konkret berhubungan langsung dengan kehidupan siswa. Selanjutnya apabila siswa telah memahami matematika konkret, siswa akan naik ketingkatan yang lebih tinggi, yaitu matematika formal, normatif, dan puncak yang paling tinggi yaitu spiritual. Dengan membangi matematika menjadi tingkatan-tingkatan siswa menjadi tahu bahwa pembelajaran matematika itu sebenarnya dimulai dari lingkungan sehari-hari.
Matematika adalah pattern & relationship, problem solving, investigation, dan communication. Matematika adalah pattern & relationship (mencari hubungan dan pola) yaitu siswa dituntut untuk menemukan pola-pola hubungan terhadap suatu permasalahan, mengkaji lebih dalam serta dapat menarik kesimpulan dari hasil pengkajian tersebut. Setelah siswa mengkaji lebih dalam dan menemukan pola-pola hubungan, baru kemudian matematika berfungsi sebagai promlem solving (pemecahan masalah). Dimana siswa yang memecahkan sendiri permasalahan tersebut. Guru hanya sekedar membantu siswa apabila ada suatu permasalahan yang benar-benar tidak bisa dipecahkan oleh siswa. Matematika juga berperan sebagai investigation (penemuan) yaitu siswa menemukan hal-hal baru dari analisis masalah yang dihadapi, mendorong siswa untuk lebih berpikir kreatif dan inovatif serta dapat menemukan gagasan-gagasan barumenuju pembelajaran yang inovatif. Dan yang terakhir matematika sebagai communication (komunikasi) yaitu matematika dapat membangun hubungan komunikasi baik siswa dengan siswa maupun guru dengan siswa.
A priori adalah logika atau pikiran, seorang yang bermanfaat apabila seseorang dapat menyumbangkan pikirannya secara sistematis. sedangkan a posteriori adalah pengalaman, seseorang pasti mempunyai pengalaman baik maupun buruk. Pengalaman tersebut dapat digunakan sebagai pondasi menuju kehidupan yang lebih baik. Apabila A priori (logika) dan a posteriori (pengalaman) di sinergikan maka akan menjadi sintetik a priori atau ilmu.
Segala sesuatu itu tergantung niatnya. Pekerjaan sekecil apapun jika niatnya tulus maka akan menjadi pahala. Seperti halnya dengan pembelajaran matematika, seharusnya guru dalam kegiatan pembelajaran yaitu membimbing dan mengajar dijadikan menjadi suatu hal yang bernilai ibadah. Dengan begitu kegiatan pembelajaran akan bermanfaat dan tentunya akan mendapat pahala. Selain itu matematika seharusnya diberikan kepada siswa yang sudah siap untuk menerima materi pembelajaran matematika. Jika matematika diberikan kepada siswa yang tidak siap maka akan menjadi suatu bencana atau tsunami bagi siswa. Oleh karena itu, sebelum menerima pembelajaran matematika siswa harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga siswa tidak akan mengalami bencana atau tsunami.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar